Sabtu, 10 Mei 2014

People Smuggling

Era globalisasi kemudian memunculkan potensi untuk terjadinya penyimpangan-penyimpangan. Akses yang gampang dan peraturan yang mudah dipermainkan menimbulkan suatu praktek kejahatan lintas negara.  Kejahatan lintas negara ini sejatinya sudah ada sejak dahulu, tetapi sesuai perkembangan jaman, pelbagai inovasi telah dilakukan oleh para pelanggar sehingga kejahatan lintas negara pun muncul dalam kemasan yang teroganisir dengan melibatkan banyak pihak, baik dari dalam maupun luar negeri.
Kejahatan lintas negara, atau yang dikenal dengan istilah kejahatan transnasional menimbulkan banyak kerugian bagi suatu negara, bahkan bagi daerah-daerah tertentu di dalam negara tersebut.  Pelbagai penyimpangan yang dapat dilakukan, seperti pengeksploitasian sumber daya (sumber daya alam dan sumber daya manusia) yang terlalu berlebihan bedampak kepada manusia yang ada dunia, dengan munculnya atau menguatnya masalah-masalah, seperti kemiskinan, konflik, dan kerugian lainnya yang bersifat materi.
Contoh dari permasalahan keimigrasian di Indonesia  yaitu penyelundupan orang atau people smuggling.  Banyaknya pemberitaan di media yang mengabarkan tentang imigran gelap yang singgah di Indonesia, atau orang asing dari negara lain yang meminta suaka ke Indonesia, menegaskan bahwa people smuggling merupakan salah satu masalah yang cukup serius. Tidak dapat dipungkiri bahwa masalah people smuggling yang belum tertangani dengan baik memberikan banyak kerugian yang signifikan bagi bangsa ini. People smuggling adalah sebuah kejahatan. Dikatakan demikian karena people smuggling secara jelas melanggar ketentuan-ketentuan resmi dari negara-negara yang bersangkutan. Telah diakui bahwa people smuggling merupakan suatu tindakan melanggar hak asasi manusia dan bentuk perbudakan kontemporer. Para imigran diperlakukan dengan tidak baik. Sangat sering kondisi perjalanan yang tidak manusiawi; ditumpuk dalam angkutan (umumnya perahu) yang penuh dan sesak, dan bahkan sering terjadi kecelakaan yang fatal. Setibanya di tempat tujuan, status ilegal mereka menyebabkan mereka terpaksa menjadi budak para penyelundup yang memaksa bekerja selama bertahun-tahun di pasar tenaga kerja ilegal. Para imigran secara tidak langsung dieksploitasi oleh pihak tertentu demi keuntungan materil (Ibid).
People smuggling menjadi lahan bisnis tersendiri yang sangat menguntungkan. Diperkirakan setiap tahunnya dapat menghasilkan keuntungan sebesar lima hingga sepuluh juta  dolar. Berdasarkan perkiraan tersebut, setidaknya satu juta imigran harus membayar rata-rata sebesar lima hingga sepuluh ribu dolar secara paksa ketika melintasi perbatasan antar negara. Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) mencatat bahwa penyelundupan manusia, yang merupakan “sisi gelap” dari globalisasi, adalah sebuah bisnis besar yang kian tumbuh dan berkembang (Philip Martin & Mark Miller, 2000: 969). Selain itu, people smuggling juga menimbulkan masalah tersendiri bagi negara tempat mereka meminta suaka. Hal ini juga melanda negara Indonesia.

Contohnya sepertikasus Pada bulan Oktober dan November 2009, aparat keamanan Republik Indonesia menangkap serombongan imigran dari dua negara, Sri Lanka dan Afganistan, karena memasuki wilayah Indonesia di daerah Banten. Kejadian pada tanggal 11 Oktober 2009 lalu, sebanyak 255 imigran asal Sri Lanka, yang menaiki kapal kayu pengangkut barang, ditangkap di perariran Selat Sunda. Kemudian pada tanggal 15 November 2009, giliran 40 imigran asal Afganistan yang ditangkap di daerah Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten. 
People smuggling dapat terjadi karena banyak faktor, terutama faktor pendorong yang menyebabkan banyaknya penduduk dari suatu negara melakukan perpindahan dari negara asal ke negara-negara tujuan. Salah satu faktor yang paling utama adalah konsekuensi ekonomi. Sebuah negara yang tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan menyebabkan banyaknya pengangguran yang lebih memilih pindah dari negara asalnya untuk mencari tempat dengan harapan dapat mendapatkan pekerjaan. 

Berikut akan dijelaskan dasar hukum yang membahas tentang pengungsi, keimigrasian, dan orang yang diselundupkan (people smuggling) berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, baik nasional dan internasional. Dalam Konvensi Tahun 1951 tentang Status Pengungsi, pengungsi adalah seseorang yang karena ketakutan yang beralasan, seperti dianiaya karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dari kelompok sosial tertentu, atau karena pandangan politik, berada di luar negara kewarganegaraannya dan tidak dapat atau, karena kecemasan tersebut, tidak mau memanfaatkan perlindungan dari negara asalnya tersebut (menurut definisi formal yang tercantum dalam Pasal 1A dalam Konvensi yang dimaksud). Ketentuan ini didukung oleh Undang-Undang nasional, yaitu Pasal 28 G (2) UUD 1945 yang menjamin adanya hak untuk mencari suaka, dan Pasal 28 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian, dijelaskan bahwa keimigrasian adalah “hal ihwal lalu lintas irang yang masuk atau ke luar wilayah Negara Republik Indonesia dan pengawasan orang asing di wilayah Negara Republik Indonesia.” Dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa setiap orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia wajib memiliki surat perjalanan, atau tanda tertentu yang dapat mengizinkan orang tersebut untuk masuk atau keluar dari wilayah Indonesia, yaitu berupa Izin Masuk atau Tanda Bertolak (Pasal 4). Sedangkan dalam Pasal 8, pejabat imigrasi berhak menolak atau tidak member izin kepada warga negara asing untuk masuk ke wilayah Indonesia jika tidak memiliki surat perjalanan yang sah dan visa.
Dalam Pasal 49 hingga 54, dinyatakan ketentuan pidana bagi yang melanggar peraturan keimigrasian. Ketentuan yang berlaku adalah hukuman kurungan selama satu tahun penjara hingga enam tahun penjara, atau denda sebesar Rp 5.000.000,- hingga Rp 30.000.000,-, berdasarkan pelanggaran yang dilakukan, seperti keluar masuk wilayah Indoesia tanpa melalui pemeriksaan; dengan sengaja menggunakan atau memalsukan surat perjalanan, visa dan izin keimigrasian yang tidak resmi; menyalahgunakan atau bertindak tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam izin keimigrasian; melanggar kewajiban yang telah ditentukan dalam Pasal 39; berada di wilayah Indonesia secara tidak sah (pernah dideportasi ke negara asal dan berada kembali di wilayah Indonesia) atau yang tetap berada di Indonesia setelah masa berlaku keimigrasian habis; serta pelanggaran oleh orang yang dengan sengaja menyembunyikan, melindungi, memberi pemondokan, memberi penghidupan atau pekerjaan kepada orang asing yang telah diduga melanggar Pasal 49 hingga 53.
Berdasarkan ketentuan dalam UU No. 9 Tahun 1999 tersebut, dapat dimengerti bahwapeople smuggling (penyelundupan manusia) dan illegal migration adalah suatu tindakan kejahatan yang melanggar Undang-Undang. Ha ini dipertegas dengan adanya Undang-Undang No. 15 Tahun 2009 tentang Pengesahan Protokol Menentang Penyelundupan Migran Melalui Darat, Laut, dan Udara, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi.
Selain itu, perlu ditinjau pula tentang kebijakan yang dicanangkan oleh Pemerintah RI dalam menangani para pengungsi. Berdasarkan SE Dirjenim No. F-IL.01.10-1297, tertanggal 30 September 2002, Perihal Penanganan Terhadap Orang Asing Yang Menyatakan Diri Sebagai Pencari Suaka atau Pengungsi, terdapat beberapa unsur penting dalam surat edaran tersebut:
Pengungsi atau pencari suaka yang memasuki wilayah Indonesia tidak serta merta dideportasi
Imigrasi bekerjasama dengan UNHCR di Indonesia, bersama-sama menangani para pengungsi atau pencari suaka
Pengungsi yang memiliki sertifikat atau surat keterangan pengungsi maka statusna akan leih jelas dan pengurusan izin tinggal akan lebih mudah
Status pengungsi tidak kebal hukum.

Pada dasarnya terdapat tiga kebijakan yang digunakan dalam menangani people smuggling, yaitu border controls, deportation and legalization policies, dan work-site inspections, raids, and sanctions against employers or illegal immigrants (Guido Friebel and Sergei Guriev, 2006: 1086). Yang pertama adalah kontrol perbatasan, dengan tujuan untuk membatasi ruang gerak dari para agen penyelundup dan para imigran gelap. Yang kedua adalah deportasi dan pengabsahan kebijakan. Yang ketiga adalah pemeriksaan dan tinjauan terhadap situs pekerjaan, melakukan penggrebekan, dan sanksi yang tegas terhadap para pelaku agen penyelundupan manusia. Selain itu, yang paling penting dan paling inti, Indonesia harus memiliki Undang-Undang khusus yang secara jelas dan tegas membahas tentang people smuggling. Adalah suatu hal yang tidak relevan jika pada ketentuan Undang-Undang No 15 Tahun 2009 telah dinyatakan bahwa kesiapan Indonesia, bekerjasama dengan Australia dalam memerangi praktek people smuggling, tetapi Indonesia belum memiliki Undang-Undang yang mengatur masalah tersebut. Pengalihan masalah tersebut kepada ketentuan Undang-Undang Imigrasi tidak akan dapat menyelesaikan masalah secara maksimal, karena ketentuan pidana dalam Undang-Undang tersebut umumnya hanya berlaku bagi WNI. Sementara bagi WNA, ada tangung jawab moral untuk menyunjung Hak Asasi Manusia.
Dengan adanya Undang-Undang khusus yang menangani masalah ini, diharapkan Indonesia dapat mampu melakukan penindakan pidana secara tegas terhadap para pelaku people smuggling.
Rekomendasi terkahir adalah Pemerintah melakukan kerjasama dengan melibatkan semua elemen masyarakat, yang dapat dilakukan dalam bentuk sosialisasi tentangpeoples smuggling dan Pembinaan Jaringan yang ada di setiap lapisan masyarakat yang dapat memberikan informasi secara cepat tentang kedatangan maupun keberadaan imigran gelap di wilayah Indonesia, khususnya di daerah-daerah perbatasan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar