Era globalisasi kemudian memunculkan potensi untuk terjadinya
penyimpangan-penyimpangan. Akses yang gampang dan peraturan yang mudah
dipermainkan menimbulkan suatu praktek kejahatan lintas negara. Kejahatan
lintas negara ini sejatinya sudah ada sejak dahulu, tetapi sesuai perkembangan
jaman, pelbagai inovasi telah dilakukan oleh para pelanggar sehingga kejahatan
lintas negara pun muncul dalam kemasan yang teroganisir dengan melibatkan
banyak pihak, baik dari dalam maupun luar negeri.
Kejahatan lintas negara, atau yang dikenal dengan istilah kejahatan
transnasional menimbulkan banyak kerugian bagi suatu negara, bahkan bagi
daerah-daerah tertentu di dalam negara tersebut. Pelbagai penyimpangan
yang dapat dilakukan, seperti pengeksploitasian sumber daya (sumber daya alam
dan sumber daya manusia) yang terlalu berlebihan bedampak kepada manusia yang
ada dunia, dengan munculnya atau menguatnya masalah-masalah, seperti
kemiskinan, konflik, dan kerugian lainnya yang bersifat materi.
Contoh
dari permasalahan keimigrasian di Indonesia
yaitu penyelundupan orang atau people smuggling. Banyaknya pemberitaan di media yang
mengabarkan tentang imigran gelap yang singgah di Indonesia, atau orang asing
dari negara lain yang meminta suaka ke Indonesia, menegaskan bahwa people smuggling merupakan salah satu masalah yang cukup serius. Tidak
dapat dipungkiri bahwa masalah people smuggling yang belum tertangani dengan baik memberikan banyak
kerugian yang signifikan bagi bangsa ini. People smuggling adalah sebuah kejahatan. Dikatakan demikian
karena
people smuggling secara
jelas melanggar ketentuan-ketentuan resmi dari negara-negara yang bersangkutan.
Telah diakui bahwa
people smuggling merupakan
suatu tindakan melanggar hak asasi manusia dan bentuk perbudakan kontemporer.
Para imigran diperlakukan dengan tidak baik. Sangat sering kondisi perjalanan
yang tidak manusiawi; ditumpuk dalam angkutan (umumnya perahu) yang penuh dan
sesak, dan bahkan sering terjadi kecelakaan yang fatal. Setibanya di tempat
tujuan, status ilegal mereka menyebabkan mereka terpaksa menjadi budak para
penyelundup yang memaksa bekerja selama bertahun-tahun di pasar tenaga kerja
ilegal. Para imigran secara tidak langsung dieksploitasi oleh pihak tertentu
demi keuntungan materil (
Ibid).
People smuggling menjadi lahan bisnis tersendiri yang sangat
menguntungkan. Diperkirakan setiap tahunnya dapat menghasilkan keuntungan
sebesar lima hingga sepuluh juta dolar. Berdasarkan perkiraan tersebut,
setidaknya satu juta imigran harus membayar rata-rata sebesar lima hingga
sepuluh ribu dolar secara paksa ketika melintasi perbatasan antar negara.
Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) mencatat bahwa penyelundupan
manusia, yang merupakan “sisi gelap” dari globalisasi, adalah sebuah bisnis
besar yang kian tumbuh dan berkembang (Philip Martin & Mark Miller, 2000:
969). Selain itu, people smuggling juga
menimbulkan masalah tersendiri bagi negara tempat mereka meminta suaka. Hal ini
juga melanda negara Indonesia.
Contohnya sepertikasus Pada bulan
Oktober dan November 2009, aparat keamanan Republik Indonesia menangkap
serombongan imigran dari dua negara, Sri Lanka dan Afganistan, karena memasuki
wilayah Indonesia di daerah Banten. Kejadian pada tanggal 11 Oktober 2009 lalu,
sebanyak 255 imigran asal Sri Lanka, yang menaiki kapal kayu pengangkut barang,
ditangkap di perariran Selat Sunda. Kemudian pada tanggal 15 November 2009,
giliran 40 imigran asal Afganistan yang ditangkap di daerah Labuan, Kabupaten
Pandeglang, Banten.
People
smuggling dapat terjadi karena banyak faktor, terutama faktor
pendorong yang menyebabkan banyaknya penduduk dari suatu negara melakukan
perpindahan dari negara asal ke negara-negara tujuan. Salah satu faktor yang
paling utama adalah konsekuensi ekonomi. Sebuah negara yang tidak mampu
menyediakan lapangan pekerjaan menyebabkan banyaknya pengangguran yang lebih
memilih pindah dari negara asalnya untuk mencari tempat dengan harapan dapat
mendapatkan pekerjaan.
Berikut akan dijelaskan dasar hukum yang membahas tentang pengungsi,
keimigrasian, dan orang yang diselundupkan (people
smuggling) berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, baik nasional dan
internasional. Dalam Konvensi Tahun 1951 tentang Status Pengungsi, pengungsi
adalah seseorang yang karena ketakutan yang beralasan, seperti dianiaya karena
alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dari kelompok sosial tertentu, atau
karena pandangan politik, berada di luar negara kewarganegaraannya dan tidak
dapat atau, karena kecemasan tersebut, tidak mau memanfaatkan perlindungan dari
negara asalnya tersebut (menurut definisi formal yang tercantum dalam Pasal 1A
dalam Konvensi yang dimaksud). Ketentuan ini didukung oleh Undang-Undang
nasional, yaitu Pasal 28 G (2) UUD 1945 yang menjamin adanya hak untuk mencari
suaka, dan Pasal 28 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian, dijelaskan bahwa
keimigrasian adalah “hal ihwal lalu lintas irang yang masuk atau ke luar
wilayah Negara Republik Indonesia dan pengawasan orang asing di wilayah Negara
Republik Indonesia.” Dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa setiap orang yang masuk
atau keluar wilayah Indonesia wajib memiliki surat perjalanan, atau tanda
tertentu yang dapat mengizinkan orang tersebut untuk masuk atau keluar dari
wilayah Indonesia, yaitu berupa Izin Masuk atau Tanda Bertolak (Pasal 4).
Sedangkan dalam Pasal 8, pejabat imigrasi berhak menolak atau tidak member izin
kepada warga negara asing untuk masuk ke wilayah Indonesia jika tidak memiliki
surat perjalanan yang sah dan visa.
Dalam Pasal 49 hingga 54, dinyatakan ketentuan pidana bagi yang melanggar
peraturan keimigrasian. Ketentuan yang berlaku adalah hukuman kurungan selama
satu tahun penjara hingga enam tahun penjara, atau denda sebesar Rp 5.000.000,-
hingga Rp 30.000.000,-, berdasarkan pelanggaran yang dilakukan, seperti keluar
masuk wilayah Indoesia tanpa melalui pemeriksaan; dengan sengaja menggunakan
atau memalsukan surat perjalanan, visa dan izin keimigrasian yang tidak resmi;
menyalahgunakan atau bertindak tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum
dalam izin keimigrasian; melanggar kewajiban yang telah ditentukan dalam Pasal
39; berada di wilayah Indonesia secara tidak sah (pernah dideportasi ke negara
asal dan berada kembali di wilayah Indonesia) atau yang tetap berada di
Indonesia setelah masa berlaku keimigrasian habis; serta pelanggaran oleh orang
yang dengan sengaja menyembunyikan, melindungi, memberi pemondokan, memberi
penghidupan atau pekerjaan kepada orang asing yang telah diduga melanggar Pasal
49 hingga 53.
Berdasarkan ketentuan dalam UU No. 9 Tahun 1999 tersebut, dapat dimengerti
bahwapeople smuggling (penyelundupan
manusia) dan illegal migration adalah
suatu tindakan kejahatan yang melanggar Undang-Undang. Ha ini dipertegas dengan
adanya Undang-Undang No. 15 Tahun 2009 tentang Pengesahan Protokol Menentang
Penyelundupan Migran Melalui Darat, Laut, dan Udara, Melengkapi Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang
Terorganisasi.
Selain itu, perlu ditinjau pula tentang kebijakan yang dicanangkan oleh
Pemerintah RI dalam menangani para pengungsi. Berdasarkan SE Dirjenim No.
F-IL.01.10-1297, tertanggal 30 September 2002, Perihal Penanganan Terhadap
Orang Asing Yang Menyatakan Diri Sebagai Pencari Suaka atau Pengungsi, terdapat
beberapa unsur penting dalam surat edaran tersebut:
Pengungsi atau pencari suaka yang memasuki wilayah Indonesia tidak serta
merta dideportasi
Imigrasi bekerjasama dengan UNHCR di Indonesia, bersama-sama menangani para
pengungsi atau pencari suaka
Pengungsi yang memiliki sertifikat atau surat keterangan pengungsi maka
statusna akan leih jelas dan pengurusan izin tinggal akan lebih mudah
Status pengungsi tidak kebal hukum.
Pada
dasarnya terdapat tiga kebijakan yang digunakan dalam menangani people smuggling, yaitu border controls, deportation and
legalization policies, dan work-site
inspections, raids, and sanctions against employers or illegal immigrants (Guido Friebel and Sergei Guriev, 2006: 1086).
Yang pertama adalah kontrol perbatasan, dengan tujuan untuk membatasi ruang
gerak dari para agen penyelundup dan para imigran gelap. Yang kedua adalah
deportasi dan pengabsahan kebijakan. Yang ketiga adalah pemeriksaan dan
tinjauan terhadap situs pekerjaan, melakukan penggrebekan, dan sanksi yang
tegas terhadap para pelaku agen penyelundupan manusia. Selain
itu, yang paling penting dan paling inti, Indonesia harus memiliki
Undang-Undang khusus yang secara jelas dan tegas membahas tentang people smuggling. Adalah suatu
hal yang tidak relevan jika pada ketentuan Undang-Undang No 15 Tahun 2009 telah
dinyatakan bahwa kesiapan Indonesia, bekerjasama dengan Australia dalam
memerangi praktek people smuggling,
tetapi Indonesia belum memiliki Undang-Undang yang mengatur masalah tersebut.
Pengalihan masalah tersebut kepada ketentuan Undang-Undang Imigrasi tidak akan
dapat menyelesaikan masalah secara maksimal, karena ketentuan pidana dalam
Undang-Undang tersebut umumnya hanya berlaku bagi WNI. Sementara bagi WNA, ada
tangung jawab moral untuk menyunjung Hak Asasi Manusia.
Dengan adanya Undang-Undang khusus yang menangani masalah ini, diharapkan
Indonesia dapat mampu melakukan penindakan pidana secara tegas terhadap para pelaku people smuggling.
Rekomendasi terkahir adalah Pemerintah melakukan kerjasama dengan
melibatkan semua elemen masyarakat, yang dapat dilakukan dalam bentuk
sosialisasi tentangpeoples smuggling dan
Pembinaan Jaringan yang ada di setiap lapisan masyarakat yang dapat memberikan
informasi secara cepat tentang kedatangan maupun keberadaan imigran gelap di
wilayah Indonesia, khususnya di daerah-daerah perbatasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar